Admin
Posted on 3 years ago 1669x dibacaBumiayu - Bencana banjir bandang, tanah gerak serta longsor yang kerap terjadi lereng Gunung Slamet di Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes mendapat perhatian serius dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Wahana Bumi Lestari. Muflikhin, ST selaku ketua LSM Wahana Bumi Lestari mengungkapkan bahwa bencana longsor dan banjir yang kerap terjadi diakibatkan alih fungsi yang sudah sampai di wilayah hutan lindung.
"Kerusakan hutan sudah tidak main-main. Pengamatan saya, di hutan lindung sisi barat wilayah Kabupaten Brebes sudah ada 80-90 hektare yang beralih fungsi," katanya, Selasa (9/3/21).
Puluhan hektare tersebut terjadi di Kecamatan Sirampog dan Paguyangan. Areanya tersebar di perbatasan Kabupaten Pemalang, Tegal dan Kabupaten Banyumas.
"Alihfungsi lahan atau deforestasi sudah terjadi sejak tiga tahun terakhir. Mengganti hutan menjadi tanaman sayuran yang tidak memiliki akar kuat menahan air ketika hujan," kata dia.
Menurutnya, dampak nyata yang ditimbulkan karena alih fungsu hutan sangat serius merusak banyak infrastruktur juga pemukiman warga. Belum lagi setiap tahunnya permukaan tanah di Lereng Slamet menurun perlahan. Sebagai contohnya minimnya pohon tegakan daerah aliran sungai (DAS) di wilayah hulu sebagai penahan erosi tanah.
"Tanaman tegakan minim sekali. Padahal sudut kemiringan di Sirampog dan Paguyangan hulu hingga hilir rata-rata di atas 45 derajat," terangnya.
Muflikhin menambahkan, faktor penyebab alih fungsi lahan di antaranya pembalakan liar dan pembukaan lahan untuk industri. Hal tersebut terjadi karena tidak adanya batas area hutan yang diperbolehkan untuk dibuka.
"Sudah sejak 2009, kami meminta ada pemetaan wilayah hutan Lereng Gunung Slamet. Pemetaan antara hutan lindung dan produksi agar segera diberitahu kepada LMDH dan warga masyarakat," tegasnya.
Ia menyayangkan upaya untuk pencegahan dan pemulihan alih fungsi lahan oleh seluruh pihak selama ini belum serius. Terbukti dalam beberapa upaya penanganan antar instansi dan masyarakat berjalan sendiri-sendiri.
"Hubungan antar masyarakat dan instansi seperti tidak sinergis. Contoh program penanaman kopi tidak ada monitoring terkait perkembangan dan laporannya serta perlu ada program pendampingan secara berkelanjutan," ungkapnya.
Ia pun mendesak agar segera ada langkah nyata yang terintegrasi dari semua pihak. Seperti kebijakan yang terintegrasi, reboisasi, dan menggencarkan sosialisasi ke warga.
"Harus ada kebijakan berjalan seirama seluruh pihak, memaksimalkan dinas yang dibentuk program penyuluhan khusus hutan yang ditunjuk lembaga di daerah. Kemudian reboisasi model tumpang sari antara kayu dan sayuran yang rutin dipantau dan dicarikan pasar ketika sudah produksi," terangya.