Admin
Posted on 3 years ago 860x dibacaMemasuki tahun 2021 setiap orang mengharapkan kemudahan dalam setiap langkah urusan. Tak luput harapan universal masyarakat dunia juga Indonesia, pandemi yang melanda sejak akhir tahun 2019 segera usai, khususnya di Indonesia. Namun hal itu perlu adanya upaya bersama dari seluruh lapisan masyarakat senantiasa sadar akan menjaga kesehatan dirinya dan orang lain dengan menerapkan protokol kesehatan.
Begitu pula, harapan lain juga di gaungkan sederet mahasiswa yang tengah memasuki semester akhir, agar dapat melaksanakan kewajiban Kuliah Kerja Nyata sebagaimana biasanya, di lakukan secara bersama-sama dengan mahasiswa lintas prodi. Umumnya KKN di lakukan secara berkelompok di daerah lain yang kemungkinan besar mahasiswa itu belum pernah menetap di tempat tersebut untuk waktu yang lama. Maka, selama 40 hari KKN reluger sebagaimana yang di ketahui bersama bertujuan utama mengedukasi mahasiswa beradaptasi dengan lingkungan baru serta turut terjun berbaur dengan lapisan masyarakat. Namun, kondisi saat ini menuntut adanya perubahan.
Perubahan pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata di tengah era pandemi berubah pola menjadi di lakukan secara mandiri sesuai dengan daerah tempat tinggalnya masing-masing. Hal ini menimbulkan beberapa penolakan di awal tercetusnya kebijakan pelaksanaan KKN tematik mandiri di era pandemi COVID-19. Sebagian besar penolakan berasal dari latar belakang mahasiswa dimana daerah tempat tinggalnya hanya dirinya sendiri seorang mahasiswa yang sedang berkuliah dari kampusnya. Beberapa alasan lainnya turut menyertai, yaitu mahasiswa lebih merasa canggung melaksanakan KKN di desanya sendiri di bandingkan melakukan di desa orang lain sebab dirinya khawatir apa yang di lakukannya tidak maksimal, tidak adanya teman dan kurangnya rasa percaya diri berhubungan/ berkomunikasi dengan segenap perangkat desa, tetua adat, tokoh masyarakat atau masyarakat pada umumnya seorang diri.
Berbeda hal dengan mahasiswa yang dalam satu daerahnya/ desanya memiliki seorang teman satu kampus dengan dirinya. Hal ini akan memudahkan pergerakan selama KKN karena mereka dapat saling bertukar pikiran dan membantu satu sama lain khususnya dalam pengambilan dokumentasi. Meskipun, pada praktik pelaporan akhir KKN di laporkan secara mandiri.
Adanya perbedaan jumlah mahasiswa dalam satu desa menimbulkan sentimentil mahasiswa minoritas terhadap mahasiswa mayoritas. Hal ini jelas terlihat pada letak kesulitan yang akan di hadapi oleh sebagian mahasiswa minoritas. Tidak dapat di pungkiri mereka harus lebih banyak berjuang untuk menggali informasi yang berhubungan dengan desa seorang diri. Maka, kebijakasanaan mengetengahi kasus seperti ini adalah panitia pelaksana KKN perlu betul-betul jeli dalam menilai kesungguhan mahasiswa dalam melaksanakan tugas-tugasnya dengan cara-cara yang tidak menjatuhkan nama baik perseorangan ketika penilaian atau monitoring di lakukan.
Namun, kewajaran, empati dan paham situasi belum bisa di terima dan di resapi meskipun perubahan itu di rasakan bersama. Ada satu sumber kisah yang menarik seputar KKN untuk di bahas. Kisah ini berkaitan dengan ketimpangan yang dalam pelaksanaan KKN sebagaimana telah di jabarkan sebelumnya. Ini adalah salah fenomena gaduh dan mengaduh kala perubahan.
Gaduh dan mengaduh adalah wajar, untuk suatu perubahan. Bagaimana tidak, perubahan memerlukan adaptasi yang ekstra. Yang tidak wajar adalah belum bisa menerima meskipun perubahan itu di rasakan bersama.
Mahasiswa mau tidak mau secara cepat harus beradaptasi dengan kebijakan pelaksanaan KKN di era pandemi. Adaptasi ini hampir kebanyakan mahasiswa mengalami kesulitan. Di hari pertama pelaksanaan KKN pasti terasa amat memberatkan bagi hampir seluruh mahasiswa, terutama untuk mereka yang di desanya hanya dirinya sendiri. Seiring berjalannya waktu, berusaha menerima adalah jalan keluar satu-satunya, selain apalagi yang akan mereka suarakan pun tidak akan mengubah keadaan mereka tetap melaksanakannya dengan prosedural yang telah di tetapkan. Maka, akan lebih mengikuti apa yang menjadi jalannya.
Memantau hasil pekerjaan merupakan salah satu komponen dalam sebuah pembelajaran. Rasa kurang percaya terhadap hasil pekerjaan itu benar atau tidak sesuai prosedural di depan orang lain dengan nada menguliti adalah hal yang tidak di benarkan. Apalagi di tambah membandingkan hasil pekerjaan mahasiswa minoritas dan mayoritas.
Jelas bahwa mahasiswa minoritas maupun mayoritas tentu berbeda dalam memperoleh pembelajaran selama KKN berlangsung. Mahasiswa minoritas akan lebih belajar yang namanya percaya diri dan berkomunikasi. Menjadi barang tentu mahasiswa minoritas melakukan semua prosedural KKN seorang diri.
Apabila mahasiwa minoritas dalam teknis lapangannya menemukan kesulitan untuk rasa percaya diri adalah wajar. Kepercayaan diri pada seseorang tidak dapat di ukur dari usia dan tidak semua yang telah memasuki usia dewasa telah mengeksplore rasa percaya diri dalam dirinya. Kepercayaan diri akan terbentuk apabila sering di latih. Untuk itu sebaiknya ketika mendapati rasa curiga apabila mahasiswa minoritas seolah memanipulasi data, lebih baik untuk cross check latar belakang mahasiswa tersebut bukan justru sebaliknya, membandingkan pekerjaan yang mahasiswa minoritas dan mayoritas di depan umum. Sekali lagi itu adalah hal yang tidak di benarkan.
Sedangkan mahasiswa mayoritas selama pekasanaan KKN akan mendapatkan pelajaran lain yaitu rasa bergotong-royong dan kerjasama. Dua hal tersebut dewasa ini sangat sulit di tegakkan. Sebab, pemuda saat ini jauh dari hal-hal kegiatan yang bersifat gotong-royong dan kerjasama, mayoritas memilih untuk duduk santai di depan layar mungil gawai sembari berselancar sosial media masing-masing. Sehingga, mana kala mereka memiliki teman satu desa ketika KKN adalah menjadi suatu pembelajaran tersendiri bagi mereka.
Selain itu, perubahan terhadap pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata di tengah era pandemi di lakukan secara mandiri sesuai dengan daerah tempat tinggalnya masing-masing, hal ini menimbulkan pergeseran atau penambahan esensi KKN yaitu meningkatkan pemahaman lebih terhadap lingkungan sekitar daerah tempat tinggalnya sehingga setelah adanya KKN mahasiswa dapat melanjutkan kontribusi selanjutnya Selain itu, hal ini menjadi langkah awal menumbuhkan rasa bangga terhadap daerahnya. Sebab desa adalah kewilayahan terkecil dan paling dekat dengan kehidupan sehari-hari tiap diri seseorang.
Selain contoh di atas, kegaduhan yang terjadi di awal pandemi yang menuai banyak sorotan adalah perubahan pola pembelajaran tatap muka beralih ke dalam pembelajaran daring. Awal perubahan pembelajaran di masa pandemi menuai banyak pergejolakan, meliputi banyaknya demonstran mahasiswa meminta keringanan pembiayan kuliah atau biasa di kenal dengan UKT, hambatan yang terjadi selama pembelajaran daring berlangsung serta dampak kesehatan mental selama pembelajaran daring dan karantina mandiri.
Demontrasi permintaan keringanan pembiayaan perkuliahan ini tidak semata-mata unjuk tanpa adanya latar belakang. Pandemi yang melanda berakibat pada lumpuhnya sektor ekonomi. Sebagai salah satu contoh adalah banyaknya pemotongan tenaga kerja. Tak jarang mereka yang terkena PHK hanya memiliki satu-satunya pekerjaan itu. Sehingga tidak ada pemasukan selain dari pekerjaan tersebut. Sektor ekonomi lainnya yang turut terdampak adalah mereka para pedagang kelas menengah ke bawah. Semakin harinya penjualan terus menurun sehingga pengeluaran dan pemasukan tidak seimbang.
Berdasarkan data pusat statistik, Produk Domestik Bruto (PDB) perkapita masyarakat Indonesia 2020 sebesar Rp 56,9 juta dari tahun sebelumnya Rp 59, 07. Nilai PDB perkapita tersebut masih di bawah US$4.000 yang berarti indonesia berada di kategori berpendapatan menengah kebawah. Hal ini dapat di katakan bahwa rata-rata pendapatan orang tua mahasiswa berlatarbelakang golongan kelas menengah ke bawah. Maka, menjadi alasan demonstran mahasiswa menyuarakan apa yang menjadi kebanyakan mahasiswa rasakan.
Selain itu, Pembelajaran yang di terima akibat adanya pandemi COVID-19 menjadi pembelajaran daring di nilai tidak layak dengan harus tetap mengeluarkan besaran biaya seperti pada umumnya (kuliah secara tatap muka). Tidak mendapatkan fasilitas sebagaimana biasa adalah alasan utamanya.
Secara umum pembelajaran daring adalah proses pembelajaran dengan memanfaatkan jaringan internet dan menggunakan berbagai media seperti classroom, video conference, zoom, youtube, whatsapp dan lain-lain. Akan tetapi, selama pembelajaran daring tidak semua peserta didik baik tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi dapat mengakses materi yang di sampaikan dengan baik. Faktor utama adalah koneksi internet yang buruk serta ketersedian gawai dan laptop juga di perlukan.
Gawai dan koneksi internet adalah satu kesatuan yang tidak dapat di pisahkan. Ini merupakan satu-satunya media pembelajaran paling efektif untuk pembelajaran jarak jauh. Namun, tidak cukup hanya dengan memiliki gawai yang bagus, apabila tidak terisi oleh paket kuota untuk dapat mengakses materi pembelajaran. Akses internet tersebut menjadi kebutuhan primer dalam menunjang proses belajar dan menjadi angka utama pengeluaran tertinggi dalam keuangan keluarga.
Tidak sampai di situ. Seiring berjalannya waktu pembelajaran daring dan karatina berlangsung menimbulkan rasa jenuh. Sebab, kesehariannya di haruskan melakukan segala aktivitas hanya di dalam rumah tanpa berinteraksi dengan lainnya sebagaimana biasanya. Hal ini di buktikan beredarnya pemberitaan mengenai tingkat depresi selama pembelajaran daring. Banyak peserta didik mengeluhkan bahwa mereka terbebani dengan tugas sekolah yang ada dan dilaksanakan secara daring.
Begitulah publikasi memberitakan kegaduhan yang di timbulkan semasa awal pandemi menyebar. Hingga saat ini penanganan kasus COVID-19 masih dalam proses lanjutan yang tak kunjung usai. Pergejolakan yang sangat inten tiga contoh di atas saat ini kabarnya kian hari mulai meredup meskipun keluh-kesah masih terdengar. Agaknya proses beradaptasi dengan kondisi yang ada kian hari mulai di benahi.
Kemudian, gejolak yang pernah ada pada mahasiwa demonstran terkait menuntut keringanan pembiayaan perkuliahan, ini menjadi bahan instrospeksi dari sudut pandang lain. Hal pertama adalah mencuatnya cuitan di berbagai sosial media terutama twiter dengan sederet kalimat yang kurang lebih di interprestasikan bahwa perkuliahan yang di bayar mahal hanya mendapat slide persentasi ketika perkuliahan daring.
Contoh sederhana tersebut dapat menjadi perbincangan panjang tanpa ada habisnya. Sama seperti tiada habisnya mahasiswa berkoar-koar menyuarakan aspirasi. Namun siapa sangka selang beberapa bulan dan kerisuhan sedikit mereda, mencuatlah sisi lain, kini hadir dari perspektif guru. Sebuah video di unggah di akun sosial media tik tok terekam seorang dosen berusia tak lagi muda tengah mengajar yang mana dirinya selama pembelajaran daring berusaha maksimal agar tetap memberikan mata kuliah dengan baik, dengan usia yang tak lagi muda tentu akan sulit untuk belajar mengoperasikan media pembelajaran daring. Mirisnya ketika dirinya mengajar hanya 4 mahasiswa saja yang mengikuti perkuliahan tanpa mengaktifkan video kamera.
Melihat dua sisi fenomena selama pembelajaran daring, menyalahkan satu sama lain bukan sebuah pemecahan masalah keterpurukan dunia pendidikan. Beginilah adanya yang sedang di alami bersama. Mari melihat kebelakang, pembelajaran yang di lakukan secara tatap muka pun kerap kali menemui sebuah hambatan apalagi situasi sekarang yang sebelumnya tak pernah terfikirkan.
Perihal selanjutnya adalah kemunculan perspektif pandemi memberikan jawaban untuk tetap bisa menjadi diri sendiri. Stigma mengotak-kotakan standar kualitas suatu lembaga pendidikan dengan beralihnya pembelajaran dari rumah setidaknya memberikan penyamarataan bahwa pendidikan dapat di lakukan di mana saja tanpa memandang tempat dan nama. Semua berkesempatan mengenyam pendidikan.
Pun bukan berarti, setelah adanya angin segar meluruhkan sedikit tembok keangkuhan menjadikan berpasrah diri. Potensi tiap diri seseorang tidak memandang tempat dirinya berada. Akan tetapi tempat seseorang itu berpijak, dirinya bisa menggali potensinya berdasarkan apa yang di perlukan untuk lingkungannya. Itulah sejatinya pendidikan, potensi dan kebermanfaatan.
(Penulis adalah Vadilah Anggraeni, Mahasiswi Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Peradaban)